Menurut catatan sejarah, media massa terbukti mampu mendorong dan mengubah kondisi sosial masyarakat. Dengan pemberitaan yang kontinyu, terarah dan sistematis, pers mampu mempengaruhi pilihan, sikap dan opini masyarakat. Media massa juga bisa membujuk pembaca dan pirsawan, dengan merangsang emosi, perasaan serta pikiran mereka lewat berbagai pendapat dan komentar. Mereka juga bisa memberikan status legitimasi terhadap sesuatu hal. Media massa juga bisa mendefinisikan dan membentuk persepsi atas realitas tertentu kepada para pembaca.
Karena itu, sejak dulu banyak orang, penguasa, dan kelompok kepentingan, memanfaatkan media massa sebagai corong, alat, dan mesin propaganda rekayasa sosial. Paul Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi Jerman adalah contoh gamblang pemanfaatan media sebagai mesin rekayasa sosial. Goebbels adalah pelopor dan pengembang teknik propaganda Argentum ad nausem atau teknik Big Lie (kebohongan besar).
Prinsip utama teknik ini adalah menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin sehingga kebohongan itu kemudian dianggap sebagai suatu kebenaran.Cara ini cukup sederhana, namun sangat efektif dan mampu mengubah persepsi, serta pada gilirannya mengubah sikap dan perilaku masyarakat. Dengan memobilisir media massa, Goebbels membentuk persepsi Bangsa Jerman adalah ras terbaik, dan Bangsa Yahudi ras terkutuk yang harus dilenyapkan.
Di Indonesia, pers juga berfungsi sebagai alat rekayasasosial. Perubahan terjadi sesuai perkembangan zaman. Di masa pergerakan, pers menjadi media perlawanan terhadap penjajah. Media menjadi penyemai faham nasionalisme. Coba tengok pamflet-pamflet, koran, dan majalah di zaman Belanda seperti Bintang Timur, Cahaya Asia, Pasundan, Djawa, Panjebar Semangat dan sebagainya. Saat itu media massa menjadi agen perubahan sosial untuk meraih kemerdekaan.
Begitu Indonesia merdeka dan partai politik tumbuh, pers menjelma menjadi alat partai. Koran, majalah dan kantor berita menjadi organ partai, mesin agitasi dan propaganda, demikian pula wartawannya. Harian Rakyat menjadi koran onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI), Merdeka corong Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Abadi media Partai Masyumi, Partai Sosialis Indonesia (PSI) punya harian Indonesia Raya dan Pedoman, Nahdlatul Ulama eksis dengan koran Duta Masyarakat, dan sebagainya. Tiap hari, koran hadir dengan slogan partai, polemik, dan debat yang berpihak kepada partai mereka. Saat itu media massa menjadi pengarah opini dan pembentuk persepsi massa sebagaimana dikehendaki partai.
Ketika Orde Baru menancapkan kekuasaan, breidel media massa, penangkapan dan penahanan wartawan atas tuduhan merongrong kewibawaan pemerintah sering terjadi. Karena tekanan bertubi-tubi, wartawan, pers dan media massa kompak tiarap. Self-censorship menjadi lumrah, budaya telepon dimaklumi. Karena takut pada hantu breidel dan tekanan penguasa, pers di masa Orde Baru bereinkarnasi. Pers berubah menjadi penganjur pembangunan, corong penguasa, dan penyebar ide kekaryaan ala Orde Baru. Dalam keadaan ini, pers menjadialat rekayasa sosial rezim Orde Baru.
Angin segar berhembus saat musim reformasi tiba. Seiring keruntuhan Orde Baru, setelah tiga dasa warsa dikerangkeng, pers akhirnya ‘dibebaskan’. Surat Izin Terbit (SIT), Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan segala tetek bengek perizinan dihapus. Media massa menjadi bebas, terbuka, merdeka, dan berani memberitakan hal-hal tabu menurut Orde Baru. Era reformasi membuka kesempatan pers memberitakan berbagai konflik sosial, kerusuhan dan kasus penyalahgunaan wewenang dari berbagai angle, tanpa perlu takut bakal dijewer pemerintah, Departemen Penerangan, maupun tentara. Saat itu, pers menjadi idola masyarakat yang sekian lama terbelenggu kekuasaan dan menuntun masyarakat menjadi melek informasi.
Namun, ketika keterbukaaan makin marak, faham kebebasan juga makin berkembang. Di masa ini, sebagian awak pers seolah kehilangan orientasi. Saking bebasnya, mereka kadang keblinger, berlebihan dan bahkan sering merasa paling benar sendiri. Tanpa konfirmasi, tanpa cek dan ricek, tanpa mengedepankan prinsip cover both side, mereka berani menurunkan berita peka. Di masa ini, dengan enteng pers menerabas kode etik, melanggar prinsip moralitas, dan pornografi pun merajalela.
Sebagian dari mereka kemudian hanya mengikuti keinginan pemilik modal dan menyajikan berita yang ‘pokoknya laku’ tanpa peduli isi, kualitas dan memaksakan logika. Sementara itu, yang lain justru terjebak perang opini para pejabat, pemangku kepentingan, dan kelompok penekan yang bebas berkoar, sementara pers tak mampu memfilter pendapat mereka. Parahnya, jika selama puluhan tahun bedil dan penjara menjadi penakhluk wartawan, pers, dan media, kini kibasan cek dan gepokan rupiah sangat efektif menundukkan kegalakan mereka.
Parahnya, jika selama puluhan tahun bedil dan penjara menjadi penakhluk wartawan, pers, dan media, kini kibasan cek dan gepokan rupiah angat efektif menundukkan kegalakan mereka.
Dalam kondisi ini, peran pers sebagai agen perubahan sosial tetap berfungsi. Namun, perubahan sosial yang diembannya bisa melenceng dan menyimpang dari nilai luhur kemanusiaan, etika, dan agama. Faham-faham aneh bertebaran, ide-ide melenceng, dan kesesatan berpikir merajalela.S ementara, mereka yang bergandengan tangan dengan pemilik modal, penguasa atau kelompok kepentingan juga tak lagi berpihak kepada kebenaran sejati. Kondisi semakin parah ketika pers menjadi sekadar tukang foto kopi, tukang gong, pemberi stempel dan penyalur ludah narasumber tanpa pernah mengkaji, menelaah dan menyaring informasi secara benar.
Sebagian wartawan dan media massa masih mencoba bersikap wajar dengan sekadar berkomentar dan menjelaskan posisi mereka. Namun kini banyak di antara media yang dengan lantang menyatakan sebagai pendukung kontestan tertentu. Bahkan ada yang memposisikan diri sebagai endorser, tim sukses, dan bahkan seakan-akan menjadi propaganda officer laksana Joseph Goebbels, dengan turut bermanuver serampangan, brutal, dan ugal-ugalan. Tentu saja perkembangan ini sangat memprihatinkan.
Padahal, pers, media massa, dan wartawan, telah ditahbiskan sebagai watchdog alias anjing penjaga demokrasi. Pers juga sering dijuluki sebagai the fourth estate alias pilar keempat negara. Dia juga dijuluki sebagai ujung tombak perubahan sosial atau the agent of social changes, dan bahkan merekalah the servants of the thruth atau para pengabdi kebenaran.
Dengan serangkaian predikat itu, sudah selayaknya wartawan dan media mengambil posisi netral, setia kepada profesi yang mewajibkan dia tidak berpihak kepada siapapun, dan setia kepada pilihan hidup untuk menjadi pengawal kebenaran. Belum lagi jika kita mencermati pernyataan Pemimpin Perancis Napoleon Bonaparte: “A journalist is a grumbler, a censurer, a giver of advice, a regent of sovereigns, a tutor of nations. (Seorang wartawan adalah penggerutu, tukang kritik, pemberi saran, pemilik kedaulatan, guru bangsa).
Namun, serangkaian julukan hebat itu kini seolah hanya menjadi mitos. Banyak insan pers terjangkiti sindrom heroisme gara-gara julukan-julukan wah tadi. Sindrom ini sering berubah menjadi penyakit akut. Meski tak emua, banyak wartawan dan media yang secara sengaja memposisikan diri tinggi, dan merasa jumawa dengan berbagai label yang terlanjur diberikan. Sindrom heroisme ini juga memunculkan semacam ilusi kekebalan di kalangan insan pers dan media massa, sehingga dengan enteng memprovokasi, memancing, dan memberitakan hal-hal sumir dan insinuatif.
Ada sementara wartawan merasa seolah bisa melanggar aturan, etika, norma, maupun undang-undang, karena merasa memiliki ‘vaksin kekebalan’ yang tak dimiliki kalangan lain. Insan pers kadang merasa memiliki ‘kasta’ lebih tinggi dari pada profesi lain, sehingga sering mengharap fasilitas dari pemegang oritas, kekuasaan atau masyarakat. Padahal, profesi wartawan sama seperti profesi lain. Wartawan, jurnalis, reporter, juga manusia. Mereka bisa lupa, salah dan khilaf, serta harus tetap menaati hukum, norma, etika, dan peraturan.
Melihat kiprah sebagian jurnalis, pers, dan media ini, tak pelak lagi bahwa situasi panas di tengah masyarakat ini tak lepas dari peran mereka. Selain berbagai berita, iklan yang mondar-mandir menghiasi layar televisi, terdengar di radio, terpampang di halaman media cetak, dan muncul di media internet, turut membentuk persepsi masyarakat tentang cita-cita, keinginan, harapan di masa depan, serta para pemimpin yang mereka harapkan. Namun, media pun telah menguak sisi gelap persepsi masyarakat, sikap atas perbedaan pendapat, faham dan keyakinan yang berbeda, serta pensikapan yang beragam terhadap berbagai hal yang menyangkut peri kehidupan mereka.
Sungguh sangat menggembirakan jika media massa mampu mengarahkan, mengubah dan membentuk masyarakat Indonesia menjadi lebih baik dengan berbagai silang pendapat yang berkecamuk. Tapi betapa mengerikannya jika media massa dan wartawan justru menjadi penyumbang terbesar bagi perpecahan dan kehancuran negeri ini.
Hanibal Wijayanta )*
Wartawan Utama, Produser Eksekutif Liputan ANTV
0 comments:
Post a Comment