Judul Asli : Penyelewengan Dalil Al-Qur’an!
Ternyata, menggunakan dalil Al Qur’an, tidak otomatis benar. Bisa jadi malah salah!! Kalau kemudian, ayat Qur’an yang dibawakannya itu, ditafsiri sekehendak hatinya. Berikut ini adalah contoh-contoh tentang dikutipnya ayat Al Qur’an yang dipakai sebagai dalil, akan tetapi sebagaimana diungkapkan oleh sahabat Ali radiyallahu anhu ketika menjawab Khawarij, bahwa ini adalah kalimatu haqqin yuradu biha al bathil, kalimat yang haq (benar) namun yang dimaksudkannya adalah (membenarkan) kebathilan.
Khawarij
Sudah mafhum, tentang firqah ini. Luar biasa (sesatnya). Bahkan Nabi (ketika masih hidup) ditentangnya. Firqah yang dipelopori oleh Dzul Khuwaisirah, yang mencela Nabi ketika membagi ghanimah (harta pampasan perang). Mengatakan Nabi tidaklah adil. Tidak sadar, bahwa yang dicelanya adalah Rasul utusan Allah. Ketika melawan Ali radiyallahu anhu, ada dalil yang dikutip mereka (dan yang mengikutinya), mereka mengatakan kepada Ali: “..innil hukmu illa lillah..(Hak membuat hukum hanyalah milik Allah) QS Yusuf ayat 40. Maka Ali pun mengatakan kalimat seperti yang sudah disinggung di awal, bahwa ini adalah kalimat yang haq yang dipakai untuk membenarkan kesesatan mereka! Tentu saja sahabat Ali jauh lebih paham dari kaum Khawarij mengenai hal ini, dan tidaklah beliau menghukumi sesuatu kecuali dengan apa yang Allah turunkan.
Syi’ah
Salah satu contoh diantara sekian banyak penyelewengan Syi’ah atas Al Qur’an adalah pemahaman mereka akan waktu berbuka. Mereka memahami ayat Allah: “….dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam..”QS 2:187 sebagai dalil bahwa waktu berbuka adalah sampai malam (munculnya bintang). Padahal sudah diterangkan dalam hadist Nabi, bahwa kita diperintahkan untuk menyegerakan berbuka dan menyelisihi Yahudi dan Nasrani yang menunda buka puasa mereka, sampai terlihat bintang. Dan golongan Syi’ah ini adalah golongan yang sering mengatakan bahwa Al Qur’an yang ada saat ini, tidaklah lengkap. Hal ini dikarenakan, sebagian ayat telah dikorupsi oleh para Shahabat ridwanullah alaihim ajmain. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, sungguh dusta besar yang mereka alamatkan kepada para Shahabat yang diridhoi oleh Allah ta’ala.
Golongan Shufi
Anda barangkali mengenal ajaran sufi yang mengajarkan untuk mencapai tingkatan tertinggi keimanan, harus mengikuti tarekat-tarekat. Mereka -sufi- membagi orang menjadi beberapa golongan. Yang paling dasar/awam adalah golongan syariat. Artinya, orang-orang ini masih dikenai kewajiban untuk melaksanakan shalat, puasa dan amalan lainnya. Tetapi, kewajiban ini, tak berlaku lagi kepada mereka yang sudah mencapai derajat ma’rifat kepada Allah, atau yang sudah sampai kepada tingkatan hakikat. Mereka sudah sampai pada tingkatan yaqin, berdasarkan ayat Allah ini: “Dan sembahlah Tuhanmu sampai yaqin datang kepadamu.” (Al-Hijr: 99)
Yaqin, mereka artikan demikian, padahal para mufassirin mengartikan arti yaqin itu dengan al maut (kematian). Lihatlah begitu jauhnya tafsiran yang dilakukan sufi dengan tafsir yang sebenarnya.
Ahmadiyyah
Kalau ini mungkin tidak asing lagi. Golongan yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi berikutnya, setelah nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Padahal, jelas batal keislaman seseorang jika mengakui adanya nabi setelah nabi Muhammad. Mereka mengartikan bahwa khataman nabiyyin itu sebagai stempelnya para Nabi. Padahal, khataman nabiyyin jelas artinya sebagai penutup para Nabi. Atau mereka memahami ayat: “…Memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku (nabi Isa AS), yang namanya Ahmad” (QS. 61:6)
Ahmad yang dimaksud ini -menurut Ahmadiyyah- adalah jelas Ghulam Mirza Ahmad, padahal sudah jelas, bahwa Ahmad ini adalah nama diantara nama nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Sungguh jauh tafsir mereka dari kebenaran.
Liberal
Golongan liberal yang senantiasa menyeru kepada bahwa seluruh agama muaranya kepada Allah, para penganut agama-agama (selain Islam) juga bisa masuk surgaNya Allah ta’ala. Dalil yang mereka kutipkan, juga dari Al Qur’an: "Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS 2:62)
Padahal, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir, tidaklah demikian. Orang-orang Yahudi yang dimaksud pada ayat ini adalah mereka yang berpegang teguh pada kitab Taurat dan sunnah Nabi Musa alaihissalam. Sampai akhirnya mereka kembali kepada Tuhan mereka dengan iman tersebut, maka mereka adalah penghuni syurga.
Adapun setelah Nabi Isa as. datang sebagai utusan Allah Ta’ala, maka mereka yang sebelumnya mengikuti agama Nabi Musa alaihissalam . dan beriman kepada Taurat, harus mengikuti agama yang dibawa oleh Nabi Isa alaihissalam . dan beriman kepada Injil. Mereka yang tetap berpegang teguh kepada keyakinan mereka sebelumnya dan tidak beriman kepada nabi Isa alaihissalam ., maka itulah orang-orang yang binasa.
Adapun mereka yang mengikuti ajaran Nabi Isa alaihissalam . Dan berpegang teguh pada kitab Injil dan syariat-syariatnya dan beramal shaleh, maka iman mereka diterima oleh Allah Ta’ala, dan insya Allah, mereka masuk syurga.
Dan ketika Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam datang, maka orang-orang yang tidak mengikutinya dan tidak meninggalkan agama mereka sebelumnya dianggap orang-orang yang berada dalam kebinasaan. dan tempat mereka jelas, di dalam neraka. Terbukti, ayat yang kemudian turun sesudahnya berbunyi: “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali Imran:85)
Rasanya penjelasan yang cukup jelas, bahwa ayat Al Qur’an yang dikutip oleh paham liberal, adalah ayat Allah yang haq, hanya saja memahaminya tidaklah sebagaimana yang mereka inginkan. Haihata…haihata….
Demikianlah, ayat-ayat Allah telah mereka selewengkan seenak perutnya, dalam membenarkan hawa nafsu mereka. Ayat Allah tentulah benar, yang tidak benar adalah cara mereka menafsirinya. Tak berdasarkan para ulama ahli tafsir. Mudah-mudahan, kita senantiasa diberikan hidayah taufiq oleh Allah untuk mengimani Al Qur’an sebagaimana para Shahabat melakukannya. Amiin. Wallahu a’lam ...
0 comments:
Post a Comment