AIDS dipandang sebagai salah satu penyakit paling menakutkan dewasa ini. Bukan hanya karena belum ditemukan obatnya, laju penyebarannya pun dalam skala yang sangat mencemaskan. Korbannya bukan lagi kaum homoseksual, tetapi telah merambat ke semua kalangan, tua-muda, kaya-miskin, perempuan-lelaki, homoseksual-heteroseksual. Karena itulah, AIDS telah menjadi masalah kemanusiaan secara global. Ia tidak lagi menjadi masalah medis semata-mata, tetapi telah meluas menjadi masalah sosial, bahkan masalah agama.
Dan di sinilah agama, antara lain, mendapatkan tantangan: seberapa besar peran yang dapat dimainkan agama, dalam hal ini Islam, atas agenda-besar kemanusiaan berlabel AIDS ini? Peran Islam rupanya sangat bergantung pada pemaknaan penganutnya atas Islam. Bagi Sebahagian Muslim, AIDS dipandang sebagai hukuman Tuhan atas kaum homoseksual, yang kemudian meluas kepada pihak-pihak lain (argumentasinya: bukankah azab Tuhan jatuh bukan hanya kepada pelakunya, tetapi juga kepada lingkungannya).
Karena itu, AIDS didekati dan dicoba diselesaikan secara normatif (jangan berzina, jangan bernarkoba, jangan bermaksiat). Bagi kaum progresif, AIDS dipandang lebih sebagai problem sosial (ketidakadilan, ketimpangan sosial, kesenjangan pengetahuan dan informasi). Karena itu, AIDS didekati dan dicoba diselesaikan melalui jaring-jaring kehidupan sosial-politik-ekonomi-sosial-budaya yang di dalamnya agama dapat berperan penting.
Aids dan Islam
Acquired Immune Deficiency Syndrome, secara harfiah Acquired artinya didapat bukan keturunan. Immune artinya sistem kekebalan. Deficiency adalah kekurangan, dan Syndrome yakni kumpulan gejala penyakit. Sedangkan secara terminologi AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang menyerang dan atau merusak system kekebalan tubuh manusia melalui HIV (Human Immune Virus).
Sampai saat ini belum ada vaksin yang mampu mencegah HIV( mungkin hanya sebatas mencegah penyebarannya melalui ARV). Orang yang terinfeksi HIV akan menjadi karier selama hidupnya, firman Allah SWT : “dan sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit kelaparan, ketakutan,…dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang sabar.” (Al-Baqarah:155)
Perilaku Masyarakat dan Hubungannya dengan AIDS
Berbagai data menjelaskan bahwa akselerasi jumlah penderita HIV/AIDs dikarenakan tingginya prevalensi penyakit kelamin atau IMS (Infeksi Menular Seksual) pada waria dan tuna susila. Penyakit kelamin mempermudah penularan HIV/AIDS. Berbagai riset menyatakan bahwa pengetahuan remaja yang minim tentang HIV/AIDS dan interpretasi yang salah tentang masalah seksual merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya HIV/AIDS.
Penyebab dan Penularannya
Kemajuan iptek telah menimbulkan pola dan gaya hidup baru yang bersumber pada doctrine of permissiveness yang kemudian melahirkan permissive society, hal tersebut tercermin pada pola dan gaya hidup semisal; perdagangan seks, pengesahan perkawinan sesama jenis, pameran seks, pornografi, legalisasi aborsi tak bertanggung jawab, dan seterusnya. Allah s.w.t. berfirman:
“Kaka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan, kami pun membuka semua pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira, kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam terdiam berputus asa.” (Al-An’am:44)
Pengobatan
Hadits Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Arba’ah :
“berobatlah hai hamba Allah, karena Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali diturunkan pula obatnya, kecuali penyakit yang satu (pikun).”
Islam memberikan tuntunan dalam pengobatan HIV/AIDS yakni secara fisik, psikis, dan social. Secara fisik melalui medis dan sejenisnya hingga yang terbaru ARV (AntiRetroviral) secara psikis melalui kesabaran, taubat, taqarrub ilallah (dzikrullah), dan berdoa, sedangkan secara social melalui penerimaan dan dukungan penuh masyarakat terutama keluarga.
Media utama penulatan HIV/AIDS adalah seks bebas. Oleh karena itu pencegahannya harus dengan menghilangkan praktik seks bebas itu sendiri. Hal ini bisa dilakukan melalui pendidikan Islam yang menyeluruh dan komprehensif, dimana setiap individu muslim dipahamkan untuk kembali terikat pada hukum-hukum Islam dalam interaksi sosial (nizhom ijtima’i/aturan sosial).
Seperti larangan mendekati zina dan berzina itu sendiri, larangan khalwat (beruda-duaan laki perempuan bukan mahram, seperti pacaran), larangan ikhtilat (campur baur laki perempuan), selalu menutup aurat, memalingkan pandangan dari aurat, larangan masuk rumah tanpa izin, larangan bercumbu di depan umum, dll. Sementara itu, kepada pelaku seks bebas, segera jatuhi hukuman setimpal agar jera dan tidak ditiru masyarakat umumnya. Misal pezina dirajam, pelaku aborsi dipenjara, dll.
Di sisi lain, seks bebas muncul karena maraknya rangsangan-rangsangan syahwat. Untuk itu, segala rangsangan menuju seks bebas harus dihapuskan. Negara wajib melarang pornografi-pornoaksi, tempat prostitusi, tempat hiburan malam dan lokasi maksiat lainnya. Industri hiburan yang menjajakan pornografi dan pornoaksi harus ditutup. Semua harus dikenakan sanksi. Pelaku pornografi dan pornoaksi harus dihukum berat, termasuk perilaku menyimpang seperti homoseksual.
Sementara itu, kepada penderita HIV/Aids, negara harus melakukan pendataan konkret. Negara bisa memaksa pihak-pihak yang dicurigai rentan terinveksi HIV/Aids untuk diperiksa darahnya. Selanjutnya penderita dikarantina, dipisahkan dari interaksi dengan masyarakat umum. Karantina dimaksudkan bukan bentuk diskriminasi, karena negara wajib menjamin hak-hak hidupnya. Bahkan negara wajib menggratiskan biaya pengobatannya, memberinya santunan selama dikarantina, diberikan akses pendidikan, peribadatan, dan keterampilan.
Di sisi lain, negara wajib mengerahkan segenap kemampuannya untuk membiayai penelitian guna menemukan obat HIV/Aids. Dengan demikian, diharapkan penderita bisa disembuhkan.
Stigma negative dan diskriminasi terhadap Penderita HIV-AIDS (ODHA) tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Menurutnya, diskriminasi terhadap ODHA merupakan bentuk pengingkaran terhadap ajaran islam. “Islam tidak membenarkan adanya stigma dan diskriminasi dalam kondisi apapun dan kepada siapapunDikatakan Junaidi Hidayat, ODHA merupakan orang yang harus diperlakukan selayaknya masyarakat umum. Diskriminasi terhadap ODHA dapat berarti bahwa pelaku diskriminasi adalah orang yang tidak menghargai kekuasaan tuhan.
Sekarang tinggal lagi peran aktif masyarakat, ulama, ninik mamak, pemuda-pemudi, orang tua, dan organisasi sosial lainya untuk bergandengan tangan melawan penyebaran virus kutukan tersebut, membekali anak remaja dengan iman dan ulama juga ikut menyiarkan ketika berceramah di mesjid, ninik mamak menjaga dan mengawasi pergaulan keponakan dan orang kampungnya. Dan pertemuan ini juga salah satu jalan untuk dapat memberikan kesepahamam yangt terhadap persolan HIV.
“Hanyalah Allah SWT yang (punya kewenangan) membedakan derajat manusia tergantung tingkat ketaqwaannya maka menabur kebaikan sama sekali tidak ada hubungan dengan ODHA dengan tidak ODHA. ODHA pun masih berkesempatan menjadi seorang muslim yang baik, sama seperti muslim lainnya.
Bahwa memang benar, di satu sisi, agama sangat membenci dan menghakimi para pendosa, tetapi di sisi lain ternyata agama juga memerintahkan umatnya untuk memberikan kasih sayang, mengunjungi, bahkan memberikan perhatian bagi yang sakit. Adanya “dualitas” ajaran tentang moral dalam konteks AIDS ini tentu saja memiliki konsekuensi logis yang berbeda. Jika diterjemahkan dalam wujud sikap kita terhadap ODHA, konsekuensi pertanyaannya adalah, “Apakah mereka harus kita benci atau kasihi?”
Kekaburan moralitas agama dalam konteks AIDS inilah yang mendorong Mark R. Kowalewski melakukan penelitian sosiologis di Amerika Serikat pada 1990, untuk mencari tahu tentang bagaimana sebenarnya agama Kristen di sana merespons HIV & AIDS. Ternyata, riset Kowalewski, yang dilakukan dengan melakukan observasi atas sikap gereja-gereja di Amerika, melahirkan tipologi tiga jenis respons Kristen HIV & AIDS dan ODHA :
- Menyalahkan dan mengutuk ODHA; dengan memahami AIDS sebagai hukuman Tuhan
- Merangkul dan bersimpati terhadap ODHA, dengan memahami AIDS sebagai sebuah penyakit biasa
- Menolong ODHA, tetapi tetap memelihara kesakralan gagasan-gagasan agama tentang moralitas
Tipologi ini tidak jauh berbeda dengan respons Islam terhadap HIV & AIDS. Kita akan mendapati pandangan Muslim dari kalangan moral behaviorist, yang akan cenderung menyalahkan ODHA dan memahami AIDS sebagai hukuman Tuhan atas perilaku dosa dan kemaksiatan. Dan yang kedua adalah kelompok yang lebih memihak kepada ODHA; yang mengatasnamakan dirinya Muslim progresif, yaitu kelompok yang lebih memilih untuk memahami HIV & AIDS sebagai krisis global yang erat kaitannya dengan ketimpangan-ketimpangan sosial daripada melihatnya sebagai masalah moral individu. Bagi kalangan progresif ini, ODHA adalah korban atas ketidakadilan sistem, bukan orang-orang hukuman atas kecerobohan moral dan pelanggaran susila.
Kita akan memahami bahwa memang akan selalu ada perdebatan antara kelompok-kelompok tertentu dalam Islam mengenai isu-isu seperti ini. Alasan-alasan kemanusiaan biasanya dipakai kelompok yang mengatasnamakan dirinya progresif untuk menjustifikasi pembelaan mereka terhadap hak-hak kaum yang terpinggirkan, termasuk ODHA. Namun, kalangan pengusung moral sangat berkeberatan jika alasan-alasan kemanusiaan tersebut digunakan untuk mengabaikan pelanggaran atas hukum-hukum Tuhan.
Nyatanya, argumen para pengusung moral ini juga tidak bisa begitu saja kita abaikan, apalagi dipersalahkan. Sebab, bagi mereka, hukum Tuhan memang harus berada di atas segala pertimbangan. “Melayani” Tuhan dengan selalu taat terhadap aturan-aturan-Nya, bertakwa, dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama adalah misi terpenting dalam hidup mereka.
Walaupun demikian, kalangan yang progresif juga layak bertanya, apakah sosokTuhan itu ada “di luar sana”, ataukah Tuhan itu sebenarnya berada bersama dan menyatu dengan alasan-alasan kemanusiaan itu? Bagaimanakah kita harus “melayani” Tuhan? Dengan mengikuti aturan hukum-Nya ataukah dengan peduli kepada makhluk ciptaan-Nya yang sedang menderita?
Kalangan progresif ini berdalil bahwa dalam tradisi Islam, ada sebuah hadis qudsi’ yang mengatakan bahwa Tuhan pun sakit, lapar, dan haus; Dia lapar ketika ada hamba-Nya yang dibiarkan kelaparan, Dia haus ketika ada hamba-Nya yang membutuhkan pertolongan, dan Dia sakit ketika ada hamba-Nya yang sakit tidak ada yang menjenguk dan memedulikan.
0 comments:
Post a Comment