Setelah kita mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus untuk menjelaskan makna-makna al-Qur’an, maka Allah pun menjaga keotentikan hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjamin terpeliharanya al-Qur’an secara lafadh dan maknanya. Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-dzikra (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (al-Hijr: 9)
Tentunya penjagaan ini tidak hanya pada lafadznya. Apa jadinya jika al-Qur’an terjaga lafadznya tetapi tidak terjaga makna-maknanya? Bagaikan penemuan lafadz-lafadz asing peninggalan jawa kuno atau mesir kuno dalam keadaan tidak ada yang mampu memahaminya.. Atau dipahami makna-makna kalimatnya tetapi tidak dipahami maksud-maksudnya sehingga manusia berselisih dan bertikai dalam memahaminya. Sungguh tidak demikian dengan al-Qur’an! Allah memelihara al-Qur’an dengan memelihara pula bahasa Arabnya yang sampai hari ini masih dipakai dan dipergunakan.
Demikian pula Allah memelihara al-Qur’an dengan memelihara pula maksud-maksudnya dan contoh-contoh prakteknya yang terkandung dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Alhamdulillah. Sehingga al-Qur’an terjaga secara lengkap lafadh, makna dan contoh prakteknya. Oleh karena itulah Allah menyebut dalam kalimat di atas dengan kalimat “Adz-Dzikra” (peringatan) yang tentunya mencakup al-Qur’an dan al-Hadits. Sebagai bukti kita lihat kalimat yang sama pada ayat lain sebagai berikut:
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai adz-dzikra (pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui." (an-Nahl: 43)
Apakah “ahludz dzikri” adalah orang yang hanya mengerti al-Qur’’an secara lafadz-lafadznya saja? Atau para ulama yang memahami al-Qur’an, al-Hadits dengan keterangan tafsir dan penjelasanya dari para sahabat, tabiin dan para Ulama? Tentu saja yang dimaksud adalah yang kedua yaitu para ulama yang mengerti ilmu agama secara lengkap.
Para pengingkar sunnah rupanya terpengaruh dengan racun-racun orientalis yang berupaya untuk membuat keraguan terhadap keotentikan hadits. Mereka mengatakan bahwa “hadits ditulis setelah sekian puluh tahun wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “. Atau syubhat Syi’ah rafidhah yang mengatakan: “para sahabat adalah para politikus yang berebut kekuasaan maka mereka berlomba-lomba membuat hadits palsu untuk mendukung pribadinya”. Dan lain-lain.
Untuk membantah syubhat syi’ah cukup dengan ayat-ayat dalam al-Qur’an yang memuji para shahabat dan menyebutkan keutamaan mereka.
Mengapa mereka membedakan al-Qur’an dan al-hadits padahal keduanya sampai kepada kita dengan cara yang sama yaitu dengan cara periwayatan?
Kalau alasan mereka bahwa al-Qur’an telah tercatat semasa nabi masih hidup, maka kita katakan bahwa al-hadits pun tercatat semasa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika alasan mereka bahwa al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir, maka kita katakan bukankah hadits pun banyak yang diriwayatkan secara mutawatir?
Syubhat Orientalis
Sesungguhnya mereka para pengingkar sunnah adalah buah hasil upaya pengkaburan yang dilancarkan oleh orientalis barat. Mereka mengatakan: “Hadits-hadits ditulis setelah 90 tahun wafatnya Rasulullah, setelah banyak yang terlupakan dan hilang sehingga hadits-hadits seringkali melampaui batas dan berlebih-lebihan”. Yang mereka maksud –sepertinya— adalah bahwa masa penulisan hadits secara resmi dengan perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz. Padahal bukan berarti tidak ada para shahabat yang menulis secara pribadi, seperti tulisan Abdullah bin Amr bi Ash yang catatan-catatannya dia beri nama ash-Shadiqah.
Dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beberapa kali menyuruh untuk menulis masalah-masalah fiqih seperti masalah zakat, perjanjian Hudaibiyah, khutbah beliau dan lain-lain. Di antaranya ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,: Tulislah untuk Abi Syah! (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, juz 1 hal. 278)
Shahifah ash-Shadiqah
Adapun penulisan hadits oleh Abdullah bin Amr bin Ash adalah dengan izin khusus dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Disebutkan dalam riwayat Bukhari dari Wahb bin Munabbih dari saudaranya bahwa dia mendengar Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: “Tidak ada seorang pun yang lebih banyak riwayat haditsnya daripada aku kecuali yang ada pada Abdullah bin Amr bin Ash. Karena dia dulu menulis, sedangkan aku tidak menulis.” (HR. Bukhari dengan Fathul Bari juz 1 hal. 279)
Ibnu Hajar dalam Syarhnya menukil lafadh lainnya dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang menyebutkan izin dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Abdullah bin Amr bin Ash: Tidaklah seorang pun yang lebih mengetahui hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam> dariku kecuali apa yang ada pada Abdullah bin Amr bin Ash. Karena dia menulis dengan tangannya dan memahami dengan hatinya. Sedangkan aku memahami dengan hatiku tapi aku tidak menulis dengan tanganku. Ia meminta izin kepada Rasulullah untuk menulis ucapan-ucapannya. Maka Rasulullah pun mengizinkannya”. (HR. Ahmad, Baihaqi dan al-Uqaili dengan sanad yang hasan).
Demikian pula diriwayatkan langsung dari Abdullah bin Amr bin Ash bahwa dia berkata: Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah. Kemudian orang-orang Quraisy melarangku seraya berkata: “Apakah engkau menulis segala sesuatu dari Rasulullah, padahal dia manusia yang berbicara kadang marah, kadang ridha?” Aku pun berhenti menulis dan aku sampaikan kejadian itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau berkata seraya mengisyaratkan dengan jarinya ke mulut beliau: “Tulislah! Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah keluar dari mulutku ini kecuali kebenaran”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Oleh karena itu para ulama memadukan riwayat-riwayat di atas dengan riwayat larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menulis selain al-Qur’an, yaitu: Jangan tulis dariku kecuali al-Qur’an! Barangsiapa yang menulis selain al-Qur’an hendaklah menghapusnya! (HR. Muslim)
Mereka memadukannya dengan beberapa pendapat. Di antaranya mereka ada yang menyatakan bahwa hadits larangan tersebut terbatalkan dengan hadits diizinkannya menulis hadits. Yang demikian karena hadits yang melarang penulisan hadits terjadi pada awal sejarah perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan diizinkannya menulis terjadi pada masa-masa akhir ketika sebagian besar ayat-ayat al-Qur’an sudah turun.
Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad, juz 3 hal. 457. Sebagian ulama yang lain menyatakan bahwasanya hadits yang melarang adalah melarang untuk mencampurkannya dalam satu catatan antara al-Qur’an dan hadits. Demikian pula pendapat yang lain bahwa larangannya adalah umum sedangkan kebolehannya adalah khusus bagi Abdullah bin Amr bin Ash, sehingga dengan ini kekhawatiran tercampurnya al-Qur’an dan hadits hilang. (Lihat Fathul Bari, juz 1 hal. 281)
Semua ini menunjukkan bahwa hadits pun sudah ada yang tercatat pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. Maka tidak ada yang meragukan keotentikan hadits yang memang telah terbukti kebenarannya riwayatnya, kecuali orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit seperti para orientalis kafir, Syi’ah Rafidhah dan para pengingar sunnah.
Catatan para Shahabat
Apalagi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, yang berarti seluruh ayat-ayat al-Qur’an telah turun secara lengkap, maka para shahabat pun sepakat memahami bolehnya mencatat hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sejak saat itu muncullah berbagai macam shahifah-shahifah yang merupakan catatan para shahabat yang mereka tulis di dalamnya ucapan-ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti shahifah Abu Hurairah yang diberi nama ash-Shahifah dan disalin ulang serta diriwayatkan oleh muridnya Hammam ibnu Munabbih. Demikian pula shahifah-shahifah lain seperti Shahifah Sa’ad bin Ubadah al-Anshari, Shahifah Abu Musa al-Asy’ari, Shahifah Jabir bin Abdullah, Shahifah Abdullah bin Abi Aufa dan lain-lain. Bahkan di antara salinan buku-buku tersebut kini masih ada dan terpelihara di museum-museum Eropa. Semestinya para orientalis itu sudah mengetahuinya.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Shahifah Abdullah bin Amr bin Ash diriwayatkan oleh cucunya Amr bin Syuaib dari ayahnya dari beliau radhiallahu ‘anhu. Maka hadtis ini adalah hadits yang tershahih. Bahkan sebagian ulama ahlul hadits menjadikannya sederajat dengan sanad Ayyub dari Nafi’ dari Ibnu Umar (rantai emas). (Zaadul Ma’ad, juz 3 hal. 458)
Riwayat di atas dikatakan tershahih, karena rantai para perawinya hanya ada 3 orang dan semuanya terpercaya.Apakah setelah penjelasan ini para pengingkar sunnah masih ragu-ragu terhadap hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Sungguh tidak ada alasan bagi mereka untuk menolak hadits, kecuali kemalasan mereka untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena pada intinya semua yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara rinci perintah dasarnya ada dalam al-Qur’an. Seperti perintah untuk menegakkan shalat lima waktu dengan rincian-rinciannya. Kalau mereka jujur mengikuti al-Qur’an, niscaya mereka akan dapati semua gerakan-gerakan dan bacaanya ada dalam al-Qur-’an.
Mengapa mereka tidak shalat? Wallahu a’lam
Penulis : Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Sumber : Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 140/Th. III 15 Jumadil ula 142 H/01 Juni 2007 M
Sumber : Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 140/Th. III 15 Jumadil ula 142 H/01 Juni 2007 M
0 comments:
Post a Comment