Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency
Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau:
sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia
akibat infeksi virus HIV, atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang
menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).
Virusnya
sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu
virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena
virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun
mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat
memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum
benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus
sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan
kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang
mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan
preseminal, dan air susu ibu.[2][3] Penularan dapat terjadi melalui
hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum
suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan,
bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan
cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan umumnya
berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara. Kini AIDS telah
menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta
orang di seluruh dunia.[5] Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan
WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25
juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan
demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam
sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga
3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di
antaranya adalah anak-anak. Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi
di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan
menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan
antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan
parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak
tersedia di semua negara.
Hukuman sosial bagi penderita
HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita
penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman sosial tersebut juga
turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang
terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).
Gejala dan Komplikasi
Berbagai
gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki
sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat
infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya
dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV.
Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV memengaruhi
hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar
menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker
sistem kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya
penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam,
berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar,
kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan.Infeksi
oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada
tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis
tempat hidup pasien.
Penyakit Paru-paru Utama
Pneumonia
Pneumocystis (PCP) jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki
kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang
terinfeksi HIV.
Penyebab penyakit ini adalah fungi
Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan
tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit
ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang,
penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang
belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali
jika jumlah CD4 kurang dari 200 per µL.
Tuberkulosis
(TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang
terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat
(imunokompeten) melalui rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan
mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium
awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun,
resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada
penyakit ini.
Meskipun munculnya penyakit ini di
negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya terapi dengan
pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun tidaklah demikian
yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak
ditemukan. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per
µL), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi
HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian
tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya
bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu
tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang,
tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah
bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat. Dengan demikian,
gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya
penyakit ekstrapulmoner.
Penyakit Saluran Pencernaan Utama
Esofagitis
adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan
dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini
terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes
simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh
mikobakteria, meskipun kasusnya langka.
Diare kronis
yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena
berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum
(seperti Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia
coli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti
kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan
virus sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis).
Pada
beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan
yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama
(primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan
efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri
diare (misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi
HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara
saluran pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen
penting dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV.
Penyakit Syaraf dan Kejiwaan Utama
Infeksi
HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan
pada syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi
organisma atas sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai
akibat langsung dari penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis
adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut
Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan
radang otak akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat
menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru. Meningitis
kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan
sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini
dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien
juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani
dapat mematikan.
Leukoensefalopati multifokal progresif
adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit yang menghancurkan selubung
syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson), sehingga
merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang
70% populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan
menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah,
sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat
(progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan
kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis.
Kompleks
demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental (demensia)
yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati
metabolik) yang disebabkan oleh infeksi HIV; dan didorong pula oleh
terjadinya pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia pada otak yang
mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin. Kerusakan
syaraf yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif,
perilaku, dan motorik, yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV
terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan rendahnya jumlah sel T CD4+
dan tingginya muatan virus pada plasma darah. Angka kemunculannya
(prevalensi) di negara-negara Barat adalah sekitar 10-20%, namun di
India hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV.[19][20] Perbedaan
ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV di India.
Kanker dan Tumor Ganas (Malignan)
Pasien
dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi
terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus
DNA penyebab mutasi genetik; yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV),
virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia
(HPV).[21][22]
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling
umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada
sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu pertanda
pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili
gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus
herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam
bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain,
terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.
Kanker
getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang
menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening,
misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya
(Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan
limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang
terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi
(prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama
AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau
virus herpes Sarkoma Kaposi.
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia.
Pasien
yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma
Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun,
banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara dan kanker usus
besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi
HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat
aktif (HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang
berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker
kemudian menjadi penyebab kematian yang paling umum pada pasien yang
terinfeksi HIV.
Pasien AIDS biasanya menderita infeksi
oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan
kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi
Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus
sitomegalo dapat menyebabkan gangguan radang pada usus besar (kolitis)
seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang pada retina mata
(retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi
yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut
Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum
(setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di
daerah endemik Asia Tenggara.
Penyebab
AIDS
merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus
yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia,
seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofaga, dan sel dendritik. HIV
merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T
CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila
HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang
dari 200 per mikroliter (µL) darah, maka kekebalan di tingkat sel akan
hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV
akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala
infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan
memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi
tertentu.
Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata
lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai
sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya
sekitar 9,2 bulan. Namun, laju perkembangan penyakit ini pada setiap
orang sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak
faktor yang memengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk
bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang
terinfeksi. Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah
daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih berisiko mengalami
perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan
kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat
mempercepat perkembangan penyakit ini. Warisan genetik orang yang
terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara
alami terhadap beberapa varian HIV. HIV memiliki beberapa variasi
genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju
perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula. Terapi
antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata
waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita
bertahan hidup.
Penularan Seksual
Penularan
(transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi
cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat
kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual
reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual
insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar
daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak
berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif
maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko
penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering
terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi
HIV.
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko
penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan
epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya
penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen
dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara,
Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali
lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin
seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut
juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit
menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan
trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.
Transmisi
HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan
kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan
bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan
antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu
berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin.
Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan
81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita lebih rentan terhadap infeksi
HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal,
dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual. Orang yang
terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih
mematikan.
Kontaminasi Patogen melalui Darah
Jalur
penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik,
penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah.
Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung
darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit
(patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi
juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik
merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi
hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Tiongkok, dan Eropa
Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang
digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150.
Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh
mengurangi risiko itu. Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja
laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih
jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi
dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali
tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya
sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5%
dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui
suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu,
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum
dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan
kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas
kesehatan.
Resiko penularan HIV pada penerima transfusi
darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan donor
bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun, menurut WHO,
mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman
dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah
yang terinfeksi".
Penularan Masa Perinatal
Transmisi
HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa
perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan.
Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama
kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun, jika sang ibu
memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara
bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%. Sejumlah faktor
dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat
persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya).
Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.
Diagnosis
Sejak
tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan
epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi World Health
Organization tentang AIDS tahun 1994. Namun, kedua sistem tersebut
sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan untuk penentuan
tahapan klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif
ataupun spesifik. Di negara-negara berkembang, sistem World Health
Organization untuk infeksi HIV digunakan dengan memakai data klinis dan
laboratorium; sementara di negara-negara maju digunakan sistem
klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat.
Sistem Tahapan Infeksi WHO
Pada
tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai
infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk
pasien yang terinfeksi dengan HIV-1. Sistem ini diperbarui pada bulan
September tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik
yang dengan mudah ditangani pada orang sehat.
Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS
Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernapasan atas yang berulang
Stadium
III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih
dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.
Stadium IV:
termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus
atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator
AIDS.
Sistem Klasifikasi CDC
Terdapat dua
definisi tentang AIDS, yang keduanya dikeluarkan oleh Centers for
Disease Control and Prevention (CDC). Awalnya CDC tidak memiliki nama
resmi untuk penyakit ini; sehingga AIDS dirujuk dengan nama penyakit
yang berhubungan dengannya, contohnya ialah limfadenopati. Para penemu
HIV bahkan pada mulanya menamai AIDS dengan nama virus tersebut. CDC
mulai menggunakan kata AIDS pada bulan September tahun 1982, dan
mendefinisikan penyakit ini. Tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS
mereka dengan memasukkan semua orang yang jumlah sel T CD4+ di bawah 200
per µL darah atau 14% dari seluruh limfositnya sebagai pengidap positif
HIV. Mayoritas kasus AIDS di negara maju menggunakan kedua definisi
tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun pra-1993. Diagnosis terhadap
AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah sel T CD4+ meningkat di atas
200 per µL darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit tanda AIDS
yang ada telah sembuh.
Tes HIV
Banyak orang tidak
menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV. Kurang dari 1% penduduk
perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual telah menjalani tes HIV,
dan persentasenya bahkan lebih sedikit lagi di pedesaan. Selain itu,
hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan yang mendatangi fasilitas
kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang AIDS, menjalani pemeriksaan,
atau menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan lebih kecil lagi di
fasilitas kesehatan umum pedesaan. Dengan demikian, darah dari para
pendonor dan produk darah yang digunakan untuk pengobatan dan penelitian
medis, harus selalu diperiksa kontaminasi HIV-nya.
Tes
HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western blot,
dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan
mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun, periode antara infeksi dan
berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat dideteksi (window
period) bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa
dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil
positif tes. Terdapat pula tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen
HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat digunakan untuk mendeteksi
infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat terdeteksi.
Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk
diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di
negara-negara maju.
Pencegahan
Tiga jalur utama
(rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan seksual,
persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan tubuh yang
terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama periode sekitar
kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan pada air
liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat
catatan kasus infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan
demikian risiko infeksinya secara umum dapat diabaikan.
Mayoritas
infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antarindividu
yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah modus
utama infeksi HIV di dunia. Selama hubungan seksual, hanya kondom pria
atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan
penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini
menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko
penularan HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun
manfaat ini lebih besar jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap
kesempatan. Kondom laki-laki berbahan lateks, jika digunakan dengan
benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi
yang paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara
seksual dan penyakit menular seksual lainnya. Pihak produsen kondom
menganjurkan bahwa pelumas berbahan minyak seperti vaselin, mentega, dan
lemak babi tidak digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan
tersebut dapat melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang. Jika
diperlukan, pihak produsen menyarankan menggunakan pelumas berbahan
dasar air. Pelumas berbahan dasar minyak digunakan dengan kondom
poliuretan.
Kondom wanita adalah alternatif selain
kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan, yang memungkinkannya untuk
digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak. Kondom wanita lebih
besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung terbuka keras
berbentuk cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina. Kondom
wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam
vagina — untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan.
Kendalanya ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan
harganya tidak terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal
menunjukkan bahwa dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual
dengan pelindung secara keseluruhan meningkat relatif terhadap hubungan
seksual tanpa pelindung sehingga kondom wanita merupakan strategi
pencegahan HIV yang penting.
Penelitian terhadap
pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan
penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan
yang belum terinfeksi adalah di bawah 1% per tahun. Strategi pencegahan
telah dikenal dengan baik di negara-negara maju. Namun, penelitian atas
perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan
keberadaan kelompok minoritas anak muda yang tetap melakukan kegiatan
berisiko tinggi meskipun telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga
mengabaikan risiko yang mereka hadapi atas infeksi HIV.[65] Namun,
transmisi HIV antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV
oleh transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara maju.
Pada
bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak
terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan risiko
infeksi HIV pada pria heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%.
Diharapkan pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang
terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapannya akan berhadapan
dengan sejumlah isu sehubungan masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku
masyarakat. Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya
kerentanan HIV pada laki-laki bersunat, dapat meningkatkan perilaku
seksual berisiko sehingga mengurangi dampak dari usaha pencegahan ini.
Pemerintah
Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan
Pendekatan ABC untuk menurunkan risiko terkena HIV melalui hubungan
seksual. Adapun rumusannya dalam bahasa Indonesia:
Kontaminasi Cairan Tubuh Terinfeksi
Pekerja
kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan
sarung tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat
membantu mencegah infeksi HIV.
Semua organisasi
pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi jarum
dan bahan lainnya yang diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil
narkoba (termasuk alat suntik, kapas bola, sendok, air pengencer obat,
sedotan, dan lain-lain). Orang perlu menggunakan jarum yang baru dan
disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi tentang membersihkan jarum
menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas kesehatan dan program
penukaran jarum. Di sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat gratis
di sejumlah kota, di penukaran jarum atau tempat penyuntikan yang aman.
Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan mengijinkan
pembelian perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep dokter.
Penularan dari Ibu ke Anak
Penelitian
menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian
makanan formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke anak
(mother-to-child transmission, MTCT).[69] Jika pemberian makanan
pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau,
berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak
menyusui anak mereka. Namun, jika hal-hal tersebut tidak dapat
terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama
bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin. Pada
tahun 2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV,
terutama melalui penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya
terjadi di Afrika.[70] Dari semua anak yang diduga kini hidup dengan
HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.
Penanganan
Sampai
saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode
satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada
penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan
antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus secara
signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP).[40] PEP memiliki
jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga
memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak
badan, mual, dan lelah.
Terapi Antivirus
Penanganan
infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif
(highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini
telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun
1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease
inhibitor.[6] Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari
setidaknya tiga obat (disebut "koktail) yang terdiri dari paling sedikit
dua macam (atau "kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum
digunakan adalah nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor
(atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat
perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka
rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada
untuk orang dewasa. Di negara-negara berkembang yang menyediakan
perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban
virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat
memilih waktu memulai perawatan awal.
Perawatan HAART
memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam
darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun
menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten
terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan. Lagi
pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk
membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun demikian,
banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum
dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis
atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas)
karena HIV. Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS
terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai
sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS
hanyalah 9.2 bulan. Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan
pasien selama 4 sampai 12 tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang
jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART
memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek
samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus
sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten
obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi
antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal
memperoleh manfaat dari penerapan HAART. Terdapat bermacam-macam alasan
atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut.
Isyu-isyu psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas
kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta
penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya
beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan, dan
lain-lain yang harus dijalankan secara rutin. Berbagai efek samping yang
juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART, antara
lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan risiko
sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan.
Obat
anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di
dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk
HIV dan AIDS tersebut.
Penanganan Eksperimental dan Saran
Telah
terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan
epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya
pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu
mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian.[89] Namun
setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target
yang sulit bagi vaksin.
Beragam penelitian untuk
meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek samping obat,
penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan
penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya
resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah
pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika
menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A
dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam
berisiko terinfeksi. Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh
yang besar juga disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik)
untuk pneumonia pneumosistis, demikian juga pasien toksoplasmosis dan
kriptokokus meningitis yang akan banyak pula mendapatkan manfaat dari
terapi propilaktik tersebut.
Susu sapi adalah salah
satu produk tepat yang bisa mencegah penularan penyakit yang belum ada
obatnya ini. Awalnya ilmuwan melihat bahwa sapi ternyata tidak dapat
terinfeksi HIV. Setelah melewati proses penelitian yang cukup lama,
ternyata para peneliti tersebut menemukan fakta kalau sapi bisa
menghasilkan antibodi yang bisa mencegah penularan HIV. Para peneliti
tersebut kemudian menyuntikkan sapi betina dengan protein HIV. Setelah
sapi melahirkan, para ilmuwan tersebut mengumpulkan kolostrum (susu
pertama yang dihasilkan setelah melahirkan). Dan ternyata kolostrum
tersebut mengandung antibodi HIV.
Pengobatan Alternatif
Berbagai
bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau
mengubah arah perkembangan penyakit. Akupunktur telah digunakan untuk
mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral
neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri; namun tidak
menyembuhkan infeksi HIV. Tes-tes uji acak klinis terhadap efek
obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa
tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit
ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang
serius.
Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen
multivitamin dan mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit
HIV pada orang dewasa, meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa
tingkat kematian (mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang
memiliki status nutrisi yang baik. Suplemen vitamin A pada anak-anak
kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat.[95] Pemakaian selenium
dengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV
melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan
sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang
standar, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan
mortalitas dan morbiditas.
Penyelidikan terakhir
menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki hanya sedikit
efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat
meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat
psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah
manfaat paling penting dari pemakaiannya.
Namun oleh
penelitian yang mengungkapkan adanya simtoma hipotiroksinemia pada
penderita AIDS yang terjangkit virus HIV-1, beberapa pakar menyarankan
terapi dengan asupan hormon tiroksin.[98] Hormon tiroksin dikenal dapat
meningkatkan laju metabolisme basal sel eukariota[99] dan memperbaiki
gradien pH pada mitokondria.
Epidemiologi
UNAIDS
dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta jiwa
sejak pertama kali diakui tahun 1981, membuat AIDS sebagai salah satu
epidemik paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses
perawatan antiretrovirus bertambah baik di banyak region di dunia,
epidemik AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4 dan 3,3
juta) hidup pada tahun 2005 dan lebih dari setengah juta (570.000)
merupakan anak-anak.[5] Secara global, antara 33,4 dan 46 juta orang
kini hidup dengan HIV.[5] Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang
terinfeksi dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang dengan AIDS meninggal
dunia, peningkatan dari 2003 dan jumlah terbesar sejak tahun 1981.
Afrika
Sub-Sahara tetap merupakan wilayah terburuk yang terinfeksi, dengan
perkiraan 21,6 sampai 27,4 juta jiwa kini hidup dengan HIV. Dua juta
[1,5&-3,0 juta] dari mereka adalah anak-anak yang usianya lebih
rendah dari 15 tahun. Lebih dari 64% dari semua orang yang hidup dengan
HIV ada di Afrika Sub Sahara, lebih dari tiga per empat (76%) dari semua
wanita hidup dengan HIV. Pada tahun 2005, terdapat 12.0 juta [10.6-13.6
juta] anak yatim/piatu AIDS hidup di Afrika Sub Sahara. Asia Selatan
dan Asia Tenggara adalah terburuk kedua yang terinfeksi dengan besar
15%. 500.000 anak-anak mati di region ini karena AIDS. Dua-tiga infeksi
HIV/AIDS di Asia muncul di India, dengawn perkiraan 5.7 juta infeksi
(perkiraan 3.4 - 9.4 juta) (0.9% dari populasi), melewati perkiraan di
Afrika Selatan yang sebesar 5.5 juta (4.9-6.1 juta) (11.9% dari
populasi) infeksi, membuat negara ini dengan jumlah terbesar infeksi HIV
di dunia. Di 35 negara di Afrika dengan perataan terbesar, harapan
hidup normal sebesar 48.3 tahun - 6.5 tahun sedikit daripada akan
menjadi tanpa penyakit.
Sejarah
AIDS pertama kali
dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, ketika Centers for Disease Control
and Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis
(sekarang masih diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan
oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual di Los
Angeles.
Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi
manusia adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah
masuk kedalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi HIV di
dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan berada di Afrika
Barat.[104] Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1
berasal dari simpanse Pan troglodytes troglodytes yang ditemukan di
Kamerun selatan.[105] HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey (Cercocebus
atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon, dan Kamerun.
Banyak
ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak
dengan primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan
daging.[106] Teori yang lebih kontroversial yang dikenal dengan nama
hipotesis OPV AIDS, menyatakan bahwa epidemik AIDS dimulai pada akhir
tahun 1950-an di Kongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary
Koprowski terhadap vaksin polio. Namun, komunitas ilmiah umumnya
berpendapat bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang
ada.
Sosial dan Budaya
Stigma
Hukuman
sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap
pengidap AIDS terdapat dalam berbagai cara, antara lain
tindakan-tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran
atas orang yang diduga terinfeksi HIV; diwajibkannya uji coba HIV tanpa
mendapat persetujuan terlebih dahulu atau perlindungan kerahasiaannya;
dan penerapan karantina terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV.
Kekerasan atau ketakutan atas kekerasan, telah mencegah banyak orang
untuk melakukan tes HIV, memeriksa bagaimana hasil tes mereka, atau
berusaha untuk memperoleh perawatan; sehingga mungkin mengubah suatu
sakit kronis yang dapat dikendalikan menjadi "hukuman mati" dan
menjadikan meluasnya penyebaran HIV.
Stigma AIDS lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:
- Stigma instrumental AIDS - yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan menular
- Stigma simbolis AIDS - yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap berhubungan dengan penyakit tersebut
- Stigma kesopanan AIDS - yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan dengan isu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV
Stigma
AIDS sering diekspresikan dalam satu atau lebih stigma, terutama yang
berhubungan dengan homoseksualitas, biseksualitas, pelacuran, dan
penggunaan narkoba melalui suntikan.
Di banyak negara
maju, terdapat penghubungan antara AIDS dengan homoseksualitas atau
biseksualitas, yang berkorelasi dengan tingkat prasangka seksual yang
lebih tinggi, misalnya sikap-sikap anti homoseksual. Demikian pula
terdapat anggapan adanya hubungan antara AIDS dengan hubungan seksual
antar laki-laki, termasuk bila hubungan terjadi antara pasangan yang
belum terinfeksi.
Dampak Ekonomi
HIV dan AIDS
memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan menghancurkan jumlah manusia
dengan kemampuan produksi (human capital). Tanpa nutrisi yang baik,
fasilitas kesehatan dan obat yang ada di negara-negara berkembang, orang
di negara-negara tersebut menjadi korban AIDS. Mereka tidak hanya tidak
dapat bekerja, tetapi juga akan membutuhkan fasilitas kesehatan yang
memadai. Ramalan bahwa hal ini akan menyebabkan runtuhnya ekonomi dan
hubungan di daerah. Di daerah yang terinfeksi berat, epidemik telah
meninggalkan banyak anak yatim piatu yang dirawat oleh kakek dan
neneknya yang telah tua.
Semakin tingginya tingkat
kematian (mortalitas) di suatu daerah akan menyebabkan mengecilnya
populasi pekerja dan mereka yang berketerampilan. Para pekerja yang
lebih sedikit ini akan didominasi anak muda, dengan pengetahuan dan
pengalaman kerja yang lebih sedikit sehingga produktivitas akan
berkurang. Meningkatnya cuti pekerja untuk melihat anggota keluarga yang
sakit atau cuti karena sakit juga akan mengurangi produktivitas.
Mortalitas yang meningkat juga akan melemahkan mekanisme produksi dan
investasi sumberdaya manusia (human capital) pada masyarakat, yaitu
akibat hilangnya pendapatan dan meninggalnya para orang tua. Karena AIDS
menyebabkan meninggalnya banyak orang dewasa muda, ia melemahkan
populasi pembayar pajak, mengurangi dana publik seperti pendidikan dan
fasilitas kesehatan lain yang tidak berhubungan dengan AIDS. Ini
memberikan tekanan pada keuangan negara dan memperlambat pertumbuhan
ekonomi. Efek melambatnya pertumbuhan jumlah wajib pajak akan semakin
terasakan bila terjadi peningkatan pengeluaran untuk penanganan orang
sakit, pelatihan (untuk menggantikan pekerja yang sakit), penggantian
biaya sakit, serta perawatan yatim piatu korban AIDS. Hal ini terutama
mungkin sekali terjadi jika peningkatan tajam mortalitas orang dewasa
menyebabkan berpindahnya tanggung-jawab dan penyalahan, dari keluarga
kepada pemerintah, untuk menangani para anak yatim piatu tersebut.
Pada
tingkat rumah tangga, AIDS menyebabkan hilangnya pendapatan dan
meningkatkan pengeluaran kesehatan oleh suatu rumah tangga. Berkurangnya
pendapatan menyebabkan berkurangnya pengeluaran, dan terdapat juga efek
pengalihan dari pengeluaran pendidikan menuju pengeluaran kesehatan dan
penguburan. Penelitian di Pantai Gading menunjukkan bahwa rumah tanggal
dengan pasien HIV/AIDS mengeluarkan biaya dua kali lebih banyak untuk
perawatan medis daripada untuk pengeluaran rumah tangga lainnya.
Penyangkalan atas AIDS
Sekelompok
kecil aktivis, diantaranya termasuk beberapa ilmuwan yang tidak
meneliti AIDS, mempertanyakan tentang adanya hubungan antara HIV dan
AIDS, keberadaan HIV itu sendiri, serta kebenaran atas percobaan dan
metode perawatan yang digunakan untuk menanganinya. Klaim mereka telah
diperiksa dan secara luas ditolak oleh komunitas ilmiah, walaupun terus
saja disebarkan melalui Internet dan sempat memiliki pengaruh politik di
Afrika Selatan melalui mantan presiden Thabo Mbeki, yang menyebabkan
pemerintahnya disalahkan atas respon yang tidak efektif terhadap
epidemik AIDS di negara tersebut.
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS
0 comments:
Post a Comment